Kamis, 22 September 2016

Manajemen Keuangan (Beasiswa) ala Fia

Ketika saya pulang ke Jogja beberapa minggu lalu, beberapa kerabat terheran-heran pada saya. Kenapa bisa sering pulang?
Bukankah tiket pesawat itu juga nggak murah?
Dan apa pula itu sampai bisa-bisanya nonton konser boyband Korea di Jepang? 

Fia boros ya?

Ya memang. Saya ini boros orangnya. Saya ini paling nggak bisa berhemat. Di Indonesia, saya nggak bisa nabung. Beneran. Hobi saya di Jogja itu jajan, karaoke, jajan, karaoke. Hahahaha. Orang tua dan adek saya sampai geleng-geleng lihat gaya hidup saya. Parah lah. Sampai akhirnya, tahun lalu saya mulai tinggal sendiri, merantau, di negara orang pula. Waktu itu, saya bertekad akan belajar untuk hemat. Fia harus hemat! Hemat boleh, pelit jangan. Itu motto saya waktu itu.
Hasilnya?
Tetep nggak bisa hemat T_T. 

Padahal di enam bulan pertama saya di Jepang, saya nggak punya pegangan finansial lain selain duit beasiswa. Beasiswa dari pemerintah(nya negara orang). Pun pada saat itu saya nggak (mau) part time. Meski jika dibilang, uang beasiswa yang saya punya lumayan banyak dan suer, saya belum pernah pegang uang sebanyak itu di rekening saya (146.000 yen!), seumur hidup saya. Saya kaget dan kalap. Enam bulan awal masa hidup saya di Jepang, keuangan saya amburadul. Saya hanya bisa menyisakan sedikit sekali uang di rekening saya setiap akhir bulan. Itu kan parah namanya. Lalu saya kalut (?), berbagai hal mulai berkecamuk di kepala saya:

Saya nggak bisa gini terus.
Saya harus bisa nabung untuk jaga-jaga.
Saya harus memikirkan masa depan saya.
Saya harus nyicil modal nikah (?).

Setelah berdiskusi (baca: curhat) dengan beberapa kawan dan melihat kenyataan diri sendiri yang begitu parah, akhirnya saya bikin suatu strategi. Strategi manajemen keuangan ala saya. Meski dalam kenyataannya masih sedikit amburadul, tapi masih mending lah daripada dulu-dulu sebelum saya menyadari kekhilafan saya. Dan di sini, saya mau berbagi pengalaman dalam mengatur keuangan saya. Tapi tetap, saya nggak bisa menjanjikan ini bisa cocok untuk orang lain karena kondisi setiap orang pasti berbeda-beda. Sekali lagi, saya nggak bisa menjamin 100% yang saya lakukan ini bisa juga dilakukan oleh orang lain. Silakan jika ingin menjadikan ini sebagai referensi, tapi saya tidak bisa mengatakan ini sebagai 'tips'. Ini murni pengalaman saya: terms and conditions apply. Dan ini adalah kondisi saya: (1) single, (2) tinggal di daerah dengan biaya hidup tidak semahal Tokyo, (3) dapat beasiswa pemerintah Jepang, (4) tinggal di asrama kampus dengan biaya sewa tidak semahal apartemen (apato), (5) belakangan dapat part time, (6) saya tidak perlu membayar tuition fee karena sudah dibayarkan oleh pihak pemberi beasiswa.

Sampai di sini, kalau ada yang berpikiran, "Wah Fia enak ya mapan banget secara finansial di Jepang", serius deh, sebanyak apapun uang yang kita punya, tapi kalau manajemen keuangannya buruk, nak yo podho wae mas, mbak. Nah, saya nggak mau jadi orang yang keblondrok. Makanya itu, saya bikin strategi sendiri.

Jadi, sejak di Jepang tahun lalu hingga sekarang, saya selalu mengikuti perkataan ibu saya: semua pengeluaran harus dicatat. Cuma jajan es teh di warung sebelah atau nyuci di laundry koin asrama, semuanya saya catat. Struk yang saya dapat dalam satu hari, saya kumpulkan jadi satu, lalu saya tulis di buku pengeluaran (yes! saya punya buku anggaran sendiri. Emak-emak banget -_-). Biaya telepon dan internet kamar yang dipotong dari rekening pun saya catat. Lalu di akhir bulan, saya rekapitulasi semua. Dengan begitu, ketahuan lah itu pengeluaran-pengeluaran yang lebay.

Dan ternyata, meskipun saya sudah mencatat semua pengeluaran saya, tetep saja masih kecolongan. Pengeluaran yang nggak penting masih ada di sana-sini. Saya dengan mudahnya narik uang di ATM karena berpikiran, "Ah udah sih, pasti masih ada uang di situ", sampai suatu hari, tanpa sadar, uang saya nyaris habis di ATM. Ini beneran! Lalu saya berpikir bahwa hanya punya satu rekening bank tidak cukup. Ya, semua uang beasiswa langsung ditransfer ke rekening saya di bank milik kantor pos Jepang (JP Post/ Yucho). Wah kalau hanya punya satu rekening, nggak bisa nabung nih, pikir saya. Lalu setelah mikir beberapa saat, saya memutuskan untuk membuat rekening baru di bank komersial. Tujuannya buat menyimpan uang tabungan. Dan entah ini kebetulan atau enggak, tapi kok ya bank komersial yang saya pilih itu ATM-nya juaraaaaaaang buanget. Ini antara bagus dan nggak bagus sih. Bagusnya adalah saya harus mikir-mikir dulu kalau mau narik duit pakai ATM bank komersial itu. Jadi nggak bisa seenaknya sendiri. Nggak bagusnya ya, kalau pas kefefet dan harus narik ATM dari bank itu dan pas nggak nemu ATM yang dimaksud, ya mau nggak mau harus pakai ATM Bersama (?) di minimarket atau pakai ATM bank lain. Itu artinya kena charge lebih. Dan kalau weekend, bank komersial yang saya pakai itu menerapkan charge lebih setiap penarikan tunai di ATM-nya sendiri. Ha-ha-ha-ha. Jadi beneran harus mikir ulang dua kali untuk macem-macemin duit saya di bank itu.

Nah, setelah buat rekening baru di bank lain, saya putar otak gimana caranya bisa menabung. Akhirnya, saya menerapkan sistem begini: semua pengeluaran wajib (biaya sewa asrama, listrik, air dan gas), saya bayar sesaat setelah uang beasiswa turun. Kenapa demikian? Saya pernah punya pengalaman hampir nggak bisa bayar asrama saking borosnya. Jatuh tempo pembayaran asrama saya adalah tanggal 20 tiap bulan. Karena saya pikir waktunya masih panjang, ya udah, uang beasiswa saya pakai untuk pengeluaran lain. Nah ini yang salah ternyata, buat saya. Jadi pokoknya semua 'pengeluaran wajib' itu saya keluarkan dulu semuanya. Biar hati senang, galau jadi hilang. Hahahaha.

Lalu, setelah semua pengeluaran wajib itu beres, saya baru bisa nabung. Nabung kok di awal? Ya, saudara-saudara. Saya selalu berusaha menyisihkan uang tabungan setelah semua pengeluaran wajib saya beres. Saya pernah mendengar dari beberapa penasehat keuangan bahwa menabung yang 'baik' adalah dengan menyisihkan uang tabungan sesaat setelah kita mendapatkan gaji, bukan setelah akhir bulan --sebelum kita mendapatkan gaji--. Itu yang saya lihat di TV. Hehehe.

Jadi, ini yang saya lakukan setiap bulan: begitu uang beasiswa turun --yang 146.000 yen itu--, saya ambil sekitar 30.000 yen untuk pengeluaran wajib. Masih sisa 116.000 kan, saya ambil lagi itu 36.000 yen untuk menabung. Sisanya tinggal 80.000 yen kan. Iya sengaja. Saya selalu menyisakan 80.000 yen di rekening JP Post saya. Itu untuk apa? Ya untuk hidup saya sehari-hari selama sebulan di Jepang. Pokoknya 80.000 itu harus cukup buat saya untuk makan, hore-hore, dan bayar tagihan hape dan internet kamar. Ya, bayar tagihan hape dan internet langsung dipotong di rekening saya. Cukup? Dicukup-cukupin. Jadi beneran rekening JP Post saya itu hanya untuk keperluan hidup sehari-hari. Kalau ditotal bersih --dipotong tagihan hape dan internet kamar 15.000 yen-- saya hanya menggunakan sekitar 65.000 yen dalam sebulan. Haram hukumnya buat saya sendiri untuk mengotak-atik rekening saya di bank lain itu. Hahahaha.

Dan percaya sama saya. 65.000 yen itu kadang masih sisa lho. Hahahaha.

O ya karena saya hanya menggunakan JP Post untuk duit beasiswa, semua honor part time saya ditransfer ke rekening bank komersial saya. Jadi, honor part time itu termasuk golongan (?) tabungan buat saya.

Ah lupa. Ada satu lagi. Saya ini aslinya nggak suka banget sama uang koin. Ribet makenya dan nggak praktis. Berat pula. Dan karena di Jepang buanyak buanget uang koin (1 yen, 5 yen, 10 yen, 50 yen, 100 yen, dan 500 yen) dan dilihat dari nilainya 500 yen itu yang paling besar dan jarang saya pake, akhirnya saya memutuskan untuk punya celengan khusus 500 yen di asrama. Serius deh. Asik banget ini. Karena tanpa sadar bisa tahu-tahu udah banyak, bisa buat alternatif tabungan juga ^^.

Jadi begitu saudara-saudara. Kalau melihat saya kok sempet-sempetnya main ngebolang ke mana-mana, nonton konser, atau bahkan pulang ke Jogja, itu murni karena saya menggunakan sistem ala-ala di atas. Sistem manajemen keuangan amatir ala saya ini. Dengan kondisi dan situasi yang sudah saya jelaskan tadi. Dan ya, saya masih boros. Hahahaha. Dan tentu saja, cara saya di atas ada kemungkinan untuk berubah. Hehehehe.

Itu tadi pengalaman saya tentang bagaimana mengatur keuangan saya selama di Jepang. Dan mungkin kalian sendiri juga punya cara mengatur keuangan sendiri ya ^^

PS: Kurs JPY - Beli: 128; Jual: 130,50 (per 21 September 2016 15:49. Sumber: Mulia Bumi Arta)

4 komentar:

Shabrina Hazimi mengatakan...

Waaah baguuus tulisannya Mba Fia! Seruu enak dibacanya sambil ngakak2 wkwkwk xD
Ohya ngomong2 aku juga nyisihin tabungan gitu per bulan, tp aku taro amplop hahahha jadul bgt yak. Mending bikin rekening baru ya? Bisa dpt bunga juga kan yaa..
Inspiratif! Makasih Mba Fiaaa~~

fia masitha mengatakan...

Aaaah makasiiiiih. Hahahahahaha. Kalau tabungan tergantung kamu sih nyamannya gimana. Kalau aku nggak mungkin kutaruh di amplop. Soalnya aku juga pernah kayak gt dan ujung2nya akunya yg curang. Hahahahaha. Tapi kalau dirimu mau bikin rekening baru juga silakan hehehehe

Novi mengatakan...

Pengalaman yang menarik. Emang sulit untuk berhemat, tapi tetap semngat yah mba Fia!!! Fighting ^^

Muhamad Raffel Sidiq mengatakan...

Wah terima kasih sharingnya mbak. Sangat membantu dalam merencanakan keuangan mext.